Senin, 22 November 2010

Empat PNS DKP Tersangka Korupsi

Padang, Padang - Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menetapkan empat tersangka kasus korupsi pengadaan mesin long tail pada tahun anggaran 2005. Keempat tersangka itu merupakan PNS di lingkungan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Keempat tersangka itu yakni Ir Asnedi (Ketua Panitia Proyek), Sukarma (Sekretaris Panitia), Ir Rustam dan Syafrinaldi, S.Sos. Mereka diantarkan tim penyidik ke tim penuntut Kejaksaan Negeri Padang, Senin (5/11). Selain itu, tersangka diantar Wakil Kepala DKP Sumbar Mirwan Pulungan serta dua pengacara Boy Yendra Tamin, SH, MH, dan Vriza Benzani, SH.
Kepala Kejaksaan Negeri Padang Zulbahri Munir, SH, MH, menyatakan, sebenarnya pihaknya berencana menahan tersangka. Namun, dengan adanya surat permohonan itu, ia tidak jadi mengeluarkan surat perintah penahanan.

Minggu, 21 November 2010

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa kembali Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI Nining Indra Saleh di gedung KPK, kemarin. Pemeriksaan sebagai saksi ini bukan untuk tersangka kasus dugaan suap berupa travel cek senilai Rp 400 miliar, dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI pada 2004, tapi terkait penetapan mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP Sofyan Usman sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan suap pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) di Otorita Batam, pada 2004-2005.

Nining datang mengenakan baju bermotif batik ke gedung KPK, sekitar pukul 10.30. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP membenarkan pemeriksaan itu. Menurut Johan, KPK mencurigai adanya dugaan penyuapan yang dilakukan Otorita Batam sekitar Rp 1 miliar kepada mantan anggota DPR RI, Sofyan Usman dengan tujuan agar menyetujui pengesahan APBN Tambahan sebesar Rp 10 miliar, pada 2004-2005.
Pengsesahan itu terjadi semasa Ismet Abdulah sebagai kepala Otorita Batam dan sekarang yang bersangkutan sudah mendekam di penjara untuk kasus yang sama. Anggaran termasuk digunakan untuk pembelian mobil Damkar. Kasus pengadaan mobil Damkar ini telah menyeret mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dengan status tersangka juga.

"Nining diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi terkait kasus dugaan pemberian uang kepada anggota DPR (Sofyan Usman, red)," ungkap Johan Budi SP, Jura Bicara KPK kepada wartawan yang mengonfirmasi hal itu.

Usai diperiksa, Nining mengaku diperiksa soal kasus perkara tindak pidana korupsi penerimaan sejumlah uang dari Otorita Batam kepada Sofyan Usman dalam rangka usulan anggaran untuk Otorita Batam tahun anggaran 2004-2005.

"Dalam pemeriksaan, penyidik bertanya tentang dokumen, masalah administrasi, dan mekanisme pembahasan APBN di panitia anggaran DPR, tahun itu. Ada dua macam anggaran dibahas ketika itu, ada Rp 10 miliar dan Rp 80 miliar," katanya.

19 November 2010

Gayus Berulah di Depan Hidung SBY

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyerukan, mestinya dalam kasus Gayus Tambunan sekarang ini jangan hanya menangkap pelaku di tingkat bawah, melainkan harus mengungkap oknum-oknum kakapnya. “Kelas kakapnya harus diungkap, tapi nampaknya polisi punya kepentingan untuk melindungi atasannya, kolega-koleganya dan pihak (pengusaha) kakap mitranya (sebagai ATM),” bebernya dalam dialog di Metro TV, Selasa (16/11/2010) pagi.
Neta menilai, sekarang ini pimpinan polisi cenderung cuma mengorbankan yang berpangkat sekelas Komisaris Polisi (Kompol) yang diseret dalam setiap kasus (korupsi) besar. Seperti Kepala Rutan Brimob Iwan Siswanto dalam kasus Gayus keluar masuk tahanan, dan Kompol Arafat dalam mafia pajak dan rekening gendut jenderal. “Sekarang ini hanya di tingkat kompol pengusutannya. Jadi para kompol harus hati-hati,” tutur aktivis IPW.
Menurutnya, Kapolri yang baru Jenderal Pol Timur Pradopo belum maksimal melaksanakan janjinya untuk memberantas mafia di kepolisian. “Timur masih baru dan belum melakukan mutasi-mutasi, sehingga Timur masih dipengaruhi oleh rezim lama yang dikelilingi oleh mafia,” imbuhnya.
Ia mendesak pihak Kepolisian untuk segera mengungkap siapa yang menikmati uang (suap) dari Gayus yang diberikan melalui Kepala Rutan, dan Gayus bertemu dengan siapa ketika berada di Bali. Semua itu yang harus ditelusuri karena saat ini Gayus ada pada episode ketiga, menyusul penangkapan Gayus di Singapura dan kesaksian Susno Duadji terkait mafia pajak.
”Jenderal tidak diseret, yang dikorbankan cuma Kompol Arafat. Mafia hukum di Kepolisian luar biasa harus ditangani langsung oleh presiden. Kalau tidak, presiden hanya omong kosong. Kasus Gayus ini di depan hidung SBY, malu telah membentuk Satgas Pemberantasan Korupsi. Kalau mau serius Satgas harus mendorong KPK. Pintu masuknya dugaan suap kepada polisi,” ungkap Neta.

Ia menegaskan, Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan Siswanto seorang diri tidak mungkin berani secara langsung membebaskan Gayus, tanpa ada perintah dari atasannya di Polri, karena kasus Gayus merupakan kasus besar. Bahkan, saat menjemput Gayus di Singapura yang lalu saja dilakukan langsung oleh Kabareskrim Polri Komjen Pol Ito Sumardi.
“Rutan Brimob ini bagian bawahan Kabaresktrim Polri. Tak mungkin berani mengeluarkan Gayus kalau tak ada atasan yang memerintah. Apa targetnya jalan-jalan Gayus adalah ingin menjatuhkan Timur Pradopo? Tapi kasus di Bali tetap harus diungkap. Komisi III DPR harus mendorong KPK untuk masuk,”  tandasnya.
Menurut Neta, tidak mungkin Gayus pergi ke Bali dengan naik pesawat komersil. Gayus pasti naik pesawat carteran dari Lapangan Udara Pondok Cabe atau Halim Perdanakusuma. “Ini harus diselidiki, pesawat terbang siapa, di Bali ketemu siapa dan bicara soal apa,” paparnya.
Ia pun mempertanyakan keganjilan Gayus yang menonton tenis duduk di tempat yang gampang dilihat publik. “Ini (rekayasa) terlalu jorok, Gayus bertempat atau duduk di kursi depan yang gampang diketahui wartawan dan umum. Apa ini karena sengaja agar diketahui massa,” ujarnya mempertanyakan.
Neta juga mempertanyakan ketidakseriusan polisi mengusut kasus mafia pajak Gayus.  “Rumah Gubernur Sumut saja digeledah KPK, tapi kenapa rumah Gayus tak pernah digeledah, ada apa? Ini seperti untuk pencitraan,” ungkapnya.
Mengenai adanya usulkan agar Gayus dimiskinkan karena ada Undang-undang untuk pemiskinan terdakwa korupsi, Neta menganggap usulan tersebut hanya basa-basi belaka untuk meredam kejengkelan publik. “Soal pemiskinan Gayus, itu hanya untuk memuaskan sesaat publik. Jangan-jangan yang mendata kekayaan Gayus, dia kena suap juga. Lalu siapa yang akan mendata pemiskinan itu, jangan-jangan kekayaan Gayus 100 tapi hanya dicatat 10,” paparnya pula.
Ia menambahkan, kepolisian juga harus menyelidki siapa pengusaha yang memberi uang kepada Gayus selama ini sehingga kekayaannya tak wajar sebagai pegawai pajak yang cuma golongan III. Neta sepakat dnegan pengacara Adnan Buyung Nasution yang mendesak pengadilan untuk memanggil 60 perusahaan yang diduga kolusi dengan Gayus untuk mengakali pajak perusahaannya. “Tapi apa pengadilan mau? Wong kasus Susno saja (pengadilan) tutup mata,” ujar Neta.
Usut 60 Perusahaan Mitra Gayus
Anggota Komisi III (Hukum) DPR RI Tirmedya Panjaitan (F-PDIP) meminta aparat hukum agar memproses dugaan sekitar 60 perusahaan yang pajaknya diurus oleh mafia pajak Gayus Tambunan. Ia curiga pihak Kepolisian melindungi perusahaan-perusahaan tersebut karena diduga akan menyeret sejumlah oknum perwira Polri.
“Perusahaan-perusahaan yang 60 itu ingin tetap aman, tak ingin diseret, sehingga punya kepentingan terhadap Gayus maupun polisi, maka Satgas bisa membongkar kasus ini. Sehingga Gayus tak jadi tumbal pencitraan penegakan hukum. Ini perusahaan dimiliki pihak asing dan tokoh-tokoh elit politik,” ujarnya saat dialog di Metro TV, Selasa (176/11/2020).
Trimedya berharap, pengacara Adnan Buyung Nasution selaku kuasa hukum Gayus Tambunan, agar mendesak kliennya untuk mengungkap nama-nama perusahaan tersebut. “Bang Buyung harus minta Gayus untuk akui bahwa perusahaan-perusaan ini jadi saksi agar Gayus (dalam kasus) ini tidak sekedar jadi tumbal dalam proses penegakan hukum,” tuturnya.
Ia masih belum mendapat informasi tentang mengapa dan menemui siapa Gayus pergi ke Bali, serta rekayasa siapa pula kepergian terdakwa pajak yang kelaur dari rumah tahanan (Rutan) Mako Brimob tersebut. “Saya khawatir petinggi Polri ada deal dengan Gayus, dia bilang sudahlah kamu ikut saja. Yang agak menarik kenapa Gayus ini mau balik ke Jakarta, padahal saat di Singapura tak mau balik. Ini mungkin ada kompromi-kompromi misalnya rekening (uang) Gayus akan dikembalikan,” paparnya.
Menurut Trimedya, Timur Pradopo saat fit and proper test di depan Komisi III DPR pernah berjanji dalam 100 hari kepemimpinannya akan serius melakukan pemberantasan mafia hukum. Oleh karena itu, politisi PDIP ini meminta Kapolri mengusut oknum perwira tinggi di tubuh Polri yang terlibat kasus Gayus, jangan cuma sekedar menyeret aparat polisi yang berpangkat rendah/bawahan.
“Apa tak ada pejabat utama di kepolisian yang terlibat dan pihak eksternal yang terlibat? Benarkah ada kompromi-kompromi dengan Gayus? Ini harus diungkap dan diproses hukum. Seperti Bang Buyung mengatakan, 60 perusahaan yang menyuap Gayus akan dilakukan proses hukum. Nampaknya dilindungi oleh pihak kepolisian dan penguasa,” tandas anggota Komisi Hukum DPR.
Sebelumnya, Adnan Buyung Nasution, penasihat hukum Gayus Tambunan, meminta kepada majelis hakim untuk menghadirkan Denny Andrian untuk dihadirkan dalam sidang Gayus Tambunan. Denny Andrian dianggap sebagai orang yang paling tahu aliran uang dari Grup Bakrie ke Gayus.

"Kami meminta saksi Denny Andrian. Dia orang dari Bumi Resources, KPC, dan Arutmin. Dia orang yang paling tahu aliran uang dari Grup Bakrie ke Gayus. Kami juga meminta mantan Dirjen Pajak Darmin Nasution karena beliau yang menandatangani pajak yang ditangani Gayus," ujarnya di ruang sidang utama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/11).

Ia juga meminta kepada majelis hakim untuk mempertanyakan asal-usul uang yang diterima Gayus dan ke mana perginya uang tersebut. "Kami juga meminta majelis hakim untuk mempertanyakan dari mana uang dan di mana uang Rp25 miliar dan Rp75 miliar yang disita oleh penyidik supaya uang itu ditarik dan disimpan escourt account," tambahnya.

Sambil berdiri di muka persidangan, Adnan Buyung Nasution pun meminta kepada majelis hakim sidang Gayus Halomoan Tambunan untuk menyita rekaman Satgas Mafia Hukum saat memeriksa Gayus Tambunan.
Tidak mungkin Gayus sebagai pegawai golongan III Ditjen Pajak bisa memiliki kekayaan lebih dari Rp100 miliar kalau tidak mendapat uang dari penguasaha yang minta ‘diakali’ pajak peruhsaannya oleh Gayus . Publik juga ingin tahu, dari mana Gayus memperoleh uang begitu banyak untuk menyuap petugas rutan sehingga sebagian besar hidupnya berada di luar tahanan? Kalau uang Gayus semuanya sudah disita, siapa yang membiayai Gayus selama ini?

Ketika foto Gayus terungkap, polisi lebih sibuk menginterogasi penjaga rutan Brimob mengapa Gayus diizinkan keluar. Padahal yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa Gayus bisa ke Bali, bagaimana bisa, dan untuk apa? Apakah benar dia sekadar menonton pertandingan tenis, olahraga yang bukan kesukaannya?

Sabtu, 20 November 2010

Korupsi Gayus Mencapai Rp 1,7 Triliun


Gayus Tambunan/Admin (Kompas)
Gayus Tambunan/Admin
Sejak awal sebenarnya cenderung tak percaya bahwa uang pajak yang ditilep Gayus hanya Rp28 milyar, apalagi ditambah pengakuannya bahwa dari dana sejumlah itu dia hanya menikmati Rp1,5 milyar, selebihnya mengalir ke polisi (Rp11 milyar), jaksa (Rp5 milyar), hakim (Rp5 milyar), pengacara (Rp5 milyar).Apa masuk akal yang maling cuma dapat Rp1,5 milyar?
Ketidakpercayaan ini berdasarkan banyaknya wajib pajak raksasa yang ditanganinya yakni 149 wajib pajak antara lain Chevron, Kaltim Prima Coal atau Kapuas Prima Coal (Metrotv bikin Kapuas Prima Coal), Bumi Resourches dan lain-lain. Dari 149 mega perusahaan ini, 60 ditangani Gayus langsung.
Semua perusahaan itu ingin mendapatkan keringanan pajak atau tidak bisa menerima besaran jumlah tagihan dari instansi pajak dan Gayus dkk memanfaatkan peluang tersebut.
Ketidakpercayan itu terjawab sudah, Majalah Tempo terbaru mengungkapkan bahwa kasus Gayus mencakup uang sebesar Rp1,7 triliun, saat ini dia masih menyimpan uang tersebut di beberapa deposit box dan menurut Tempo dia berulang kali membujuk penyidik akan memberikan deposit box tersebut—kecuali satu untuk dia dan keluarga–asal dibebaskan atau hukumannya diringankan.
Berita ini membuktikan bahwa korupsi di instansi perpajakan adalah mega korupsi yang harus mendapat perhatian dan pengawalan super serius dari pers dan masyarakat.. Disinyalir potensi uang negara yang hanyut ke kantong-kantong petugas pajak dan gangnya mencapai Rp300 triliun!
Gara-gara ulah petugas bejat di jawatan pajak kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan jalan raya berkualitas baik, sekolah-sekolah, bea siswa, perguruan tinggi, rumah sakit, obat-obatan, pasar, pembangkit listrik, taman hiburan dan fasilitas publik lainnya.
Mungkin sudah saatnya kita lebih memperhatikan petugas pajak di kota kita, juga polisi, jaksa, hakim dan pengacara, bukan untuk mengusili atau mencampuri kehidupan pribadi mereka, tapi hanya untuk menyelamatkan fasilitas publik yang mungkin bisa kita peroleh kalau perilaku dan gaya hidup mereka wajar-wajar saja.
Kalau kita begitu pedulinya pada maling ayam, maling jemuran, maling tape mobil, maling kaca spion, maling motor dan sejenisnya, mengapa tidak kita tingkatkan sedikit kepedulian kita pada para pencuri uang kita, rakyat Indonesia?